Penduduk Israel Meramaikan Kembalinya Trump ke Gedung Putih

Pada hari yang cerah, pemandangan gedung-gedung tinggi di Tel Aviv terlihat jelas dari sebuah bukit di atas Karnei Shomron, sebuah permukiman Israel yang terletak di wilayah Tepi Barat yang diduduki.

“Saya tinggal di tanah yang dihuni oleh leluhur saya ribuan tahun lalu. Ini bukan wilayah yang diduduki; ini adalah Yudea dan Samaria sebagaimana disebutkan dalam Alkitab,” ujar Sondra Baras, seorang pemimpin pemukim yang telah menetap di Karnei Shomron selama hampir empat dekade, seperti dilaporkan oleh BBC, Minggu (12/1).

Bagi banyak pemukim di kawasan itu, perbedaan antara Negara Israel dan wilayah yang diambil alih dari Yordania dalam Perang Timur Tengah tahun 1967 tidak lagi dipandang signifikan atau relevan dalam narasi mereka.

Panduan audio di titik pandang puncak bukit menggambarkan Tepi Barat sebagai bagian dari “wilayah Israel” dan menyebut Nablus sebagai tempat di mana Tuhan memberikan janji tanah kepada bangsa Yahudi.

Meski permukiman Israel terus berkembang, dan keberadaannya dianggap ilegal oleh Mahkamah Internasional serta sebagian besar negara, aneksasi resmi wilayah ini belum terealisasi. Namun, harapan akan hal itu terus hidup di kalangan pemukim seperti Sondra.

Bagi mereka, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat berikutnya dianggap sebagai peluang besar untuk melangkah lebih jauh.

“Saya sangat senang Trump menang,” kata Sondra. “Saya ingin sekali memperluas kedaulatan di Yudea dan Samaria. Saya merasa Trump bisa mendukung hal itu.”

Beberapa figur dalam pemerintahan Trump yang akan datang tampaknya memiliki pandangan serupa. Mike Huckabee, yang sebelumnya dicalonkan Trump sebagai Duta Besar AS untuk Israel, pernah menyatakan dukungannya terhadap klaim Israel atas Tepi Barat dalam sebuah wawancara tahun lalu.

“Ketika istilah ‘diduduki’ digunakan, saya menjelaskan bahwa, ‘Ya, Israel memang menduduki tanah ini, tetapi ini adalah pendudukan atas tanah yang telah diberikan Tuhan kepada mereka 3.500 tahun lalu. Tanah ini adalah milik mereka’,” ujar Yisrael Gantz, ketua dewan permukiman regional yang mengawasi Karnei Shomron.

Gantz juga mencatat adanya perubahan sikap dari pemerintahan Trump yang akan datang, terutama setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 yang memicu konflik di Jalur Gaza.

“Baik di Israel maupun di Amerika Serikat, kini semakin banyak yang menyadari perlunya menerapkan kedaulatan di wilayah ini,” ungkapnya. “Ini adalah proses. Saya tidak bisa memastikan kapan hal itu akan terjadi, tetapi saya yakin gagasan solusi dua negara sudah tidak lagi memungkinkan.”

Sementara itu, Presiden Joe Biden tetap konsisten mendukung pembentukan negara Palestina yang hidup berdampingan dengan Israel. Ketika ditanya apakah ia mendengar pandangan yang berbeda dari pemerintahan Trump yang akan datang, Gantz menjawab, “Tentu saja, iya.”

Mendukung aneksasi Tepi Barat diyakini akan menjadi tantangan yang jauh lebih besar dan kompleks bagi Donald Trump. Langkah semacam ini berisiko memicu ketegangan dengan sekutu penting Amerika Serikat, seperti Arab Saudi, serta merusak peluang Trump untuk mencapai kesepakatan yang lebih luas di kawasan Timur Tengah.

Sondra, pemimpin pemukim, bahkan menyatakan bahwa warga Palestina di Tepi Barat yang tidak ingin tinggal di Israel bebas meninggalkan wilayah tersebut.

Ketika ditanya alasan mengapa warga Palestina harus meninggalkan tanah mereka, Sondra menjawab, “Saya tidak mengusir mereka, tetapi keadaan telah berubah. Berapa banyak perang yang mereka mulai? Dan mereka selalu kalah.”

Tak lama setelah Trump memenangkan Pilpres AS 2024, Menteri Keuangan Israel yang berhaluan kanan, Bezalel Smotrich, secara terbuka menyerukan aneksasi resmi atas permukiman-permukiman Israel di Tepi Barat.

“Tahun 2025 harus menjadi tahun kedaulatan di Yudea dan Samaria,” tegas Smotrich.

Namun, terlepas dari apakah presiden AS yang baru setuju atau tidak, banyak warga Palestina merasa bahwa diskusi tentang aneksasi resmi sudah tidak relevan lagi. Mereka melihat bahwa Israel, secara praktik, telah menganeksasi wilayah tersebut sejak lama.

Salah satu warga Palestina, Mohaib Salameh, berbagi pengalaman pahitnya. Rumahnya, yang dibangun di atas tanah pribadi milik Palestina di pinggiran Kota Nablus, dihancurkan tahun lalu setelah dinyatakan ilegal oleh pengadilan Israel.

Israel saat ini memiliki kendali penuh atas keamanan dan perencanaan di sekitar 60 persen wilayah Tepi Barat, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Perdamaian Oslo yang ditandatangani lebih dari tiga dekade lalu.

Di sisi lain, meskipun pembangunan permukiman Israel terus berkembang pesat, izin untuk membangun rumah bagi warga Palestina hampir tidak pernah diberikan.

“Semua ini adalah bagian dari kebijakan untuk memaksa kami pergi,” tegas Mohaib. “Ini adalah kebijakan migrasi paksa.”

Warga Palestina juga menghadapi tekanan yang meningkat akibat serangan kekerasan dari pemukim Israel. Meskipun tindakan ini telah dikutuk oleh AS dan Inggris, kebanyakan pelaku kekerasan tidak menghadapi tantangan hukum yang signifikan di pengadilan Israel.

Aktivis melaporkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, lebih dari 20 komunitas Palestina di Tepi Barat telah terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka karena serangan yang semakin brutal dari pemukim. Selain itu, para pemukim kini mulai merambah wilayah yang sebelumnya berada di luar kendali sipil sementara Israel, memperluas pengaruh mereka ke area yang belum sepenuhnya dikuasai.

Mohaib sendiri merasa skeptis terhadap peran Amerika Serikat dalam melindungi warga Palestina. “Tidak ada presiden AS yang pernah melindungi kami,” ujarnya. Ia juga tidak percaya bahwa Donald Trump akan berbeda, mengingat presiden AS yang akan datang itu secara luas dipandang sebagai pendukung setia Israel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *