Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) berpotensi menjadi pengelola dana dari pungutan industri ekstraktif, seperti batu bara dan nikel, serta sektor kelapa sawit.
Jika dikelola dengan efektif, dana dari ketiga sektor ini dapat menjadi sumber pembiayaan utama untuk mempercepat peralihan Indonesia menuju energi bersih dan terbarukan.
Setiap tahun, potensi penerimaan dari pungutan ini diperkirakan mencapai Rp 552 triliun, dengan Rp 353 triliun berasal dari industri batu bara, Rp 107 triliun dari ekspor nikel, dan Rp 92 triliun dari ekspor minyak sawit mentah (CPO).
Menurut para ekonom, penerapan pungutan tambahan pada sektor ekspor unggulan berpotensi meningkatkan pendapatan negara hingga Rp 552 triliun per tahun, sehingga dalam lima tahun, pemerintah bisa mengumpulkan dana sebesar Rp 915 triliun hingga Rp 2.760 triliun.
Peluang Pemungutan Dana dari Industri Ekstraktif dan Sawit
Sektor batu bara masih menghasilkan keuntungan besar meskipun mengalami fluktuasi pasar. Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, menegaskan bahwa industri ini tetap mencatat laba tinggi (super normal profit) dan berpotensi menyumbang hingga Rp 353,7 triliun per tahun bagi negara. Selain meningkatkan pendapatan negara, pungutan dari sektor ini juga dapat digunakan untuk mendorong distribusi ekonomi yang lebih merata serta menginternalisasi dampak lingkungan dalam harga batu bara.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, menyatakan bahwa sektor nikel juga berpeluang besar dalam meningkatkan pemasukan negara. Harga nikel Indonesia yang saat ini terlalu murah mengakibatkan ketidakseimbangan di pasar global. Dengan tarif ekspor sebesar 10%-20%, pendapatan negara dari sektor ini dapat mencapai Rp 53,63 – 107 triliun per tahun.
Di sektor perkebunan, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia juga memiliki peluang untuk mengenakan tarif ekspor CPO. Direktur Program Transisi Bersih, Harryadin Mahardika, menjelaskan bahwa dengan tarif ekspor serupa, potensi penerimaan negara dari CPO bisa mencapai Rp 46 – 92 triliun per tahun.
Danantara sebagai Pengelola Dana untuk Energi Bersih
Agar dana yang dihimpun dari pungutan industri ekstraktif dan sawit dapat dikelola dengan baik, dibutuhkan lembaga yang kompeten. Danantara berpotensi mengambil peran ini, tidak hanya dalam pengumpulan dana tetapi juga dalam pengelolaannya, termasuk melalui badan usaha milik negara (BUMN) seperti PLN.
Saat ini, Danantara telah memiliki modal awal sebesar Rp 300 triliun yang berasal dari penghematan anggaran negara dan dialokasikan untuk berbagai proyek nasional. Namun, pemanfaatan dana tersebut harus difokuskan pada percepatan pengembangan energi bersih dan terbarukan, bukan untuk mendanai proyek berbasis bahan bakar fosil seperti gasifikasi batu bara menjadi dimetil eter (DME).
“Pengelolaan dana Danantara harus diarahkan secara optimal untuk mencapai target transisi energi bersih, bukan justru digunakan untuk proyek yang masih bergantung pada energi fosil,” tegas Tata.
Dengan strategi pengelolaan yang tepat, Danantara dapat memainkan peran kunci dalam percepatan transisi energi di Indonesia. Hal ini tidak hanya akan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil tetapi juga memastikan keberlanjutan ekonomi dan kelestarian lingkungan di masa depan.