Pada 7 Desember 2024, Majelis Nasional Korea Selatan resmi memulai proses pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol. Pemakzulan ini dipicu oleh tindakan Yoon yang sebelumnya mendeklarasikan darurat militer, sebuah langkah yang dianggap melanggar konstitusi dan menimbulkan kekhawatiran luas di kalangan publik dan parlemen. Darurat militer, yang berlangsung singkat, dikecam sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan ancaman terhadap demokrasi.
Partai oposisi utama, bersama beberapa anggota independen, menuduh Yoon gagal menjaga stabilitas negara dan mendesaknya untuk mundur. “Kebijakan ini menunjukkan bahwa presiden tidak mampu menjalankan tugas negara,” ujar salah satu anggota oposisi dalam pernyataan resminya.
Krisis ini bermula ketika Yoon menuduh partai oposisi melakukan tindakan inkonstitusional yang melemahkan fungsi pemerintahan, memicu keputusan darurat militer pada 3 Desember 2024. Namun, langkah itu langsung ditolak mayoritas anggota parlemen, yang secara bulat menuntut pencabutan darurat militer hanya enam jam setelah pengumumannya. Keputusan ini juga diikuti kritik dari kabinet Yoon sendiri, mencerminkan ketegangan politik internal pemerintahannya.
Langkah pemakzulan mencatatkan momen penting dalam sejarah Korea Selatan, mengingat darurat militer terakhir kali diterapkan pada 1979, saat negara mengalami ketidakstabilan politik yang serupa. Proses ini kini menarik perhatian dunia internasional, dengan banyak pihak yang mengamati bagaimana demokrasi Korea Selatan akan menghadapi ujian berat ini.
Presiden Yoon, meski mencabut darurat militer, tetap bersikeras bahwa langkah tersebut dibutuhkan untuk melindungi negara dari ancaman serius. Namun, berbagai kelompok masyarakat, termasuk akademisi dan aktivis, menyatakan bahwa tindakan ini tidak dapat dibenarkan. Mereka menilai, keputusan tersebut mencerminkan lemahnya kepemimpinan dan kurangnya komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Para ahli politik menyebut krisis ini sebagai salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan Korea Selatan dalam beberapa dekade terakhir. Proses pemakzulan akan menjadi ajang pembuktian bagi stabilitas politik negara tersebut dan kemampuannya untuk mempertahankan sistem pemerintahan demokratis di tengah gejolak yang terjadi.
Jika pemakzulan berhasil, Yoon akan menjadi presiden kedua dalam sejarah Korea Selatan yang diberhentikan melalui proses ini, setelah Park Geun-hye pada 2017. Dampaknya tidak hanya dirasakan di dalam negeri, tetapi juga terhadap hubungan diplomatik Korea Selatan di kawasan, terutama di tengah ketegangan geopolitik dengan Korea Utara dan Tiongkok.
Proses ini akan diawasi secara ketat oleh rakyat Korea Selatan dan komunitas internasional. Sementara itu, para pengamat berharap bahwa prosedur ini dapat berjalan sesuai hukum, menjaga integritas demokrasi Korea Selatan di tengah krisis politik terbesar mereka saat ini.