Pada Desember 2024, konflik panjang Suriah yang berlangsung sejak 2011 memasuki babak baru dengan kejatuhan Bashar al-Assad. Kota-kota penting seperti Damaskus dan Homs kini berada di bawah kendali pemberontak. Peristiwa ini dirayakan oleh ribuan warga yang menyambutnya sebagai awal kebebasan dan harapan untuk perdamaian.
Namun, transisi ini menimbulkan tantangan besar. Kelompok-kelompok oposisi yang beragam harus menyepakati tata kelola bersama untuk mencegah terjadinya konflik baru. Selain itu, pengaruh internasional yang kuat dari negara-negara seperti Rusia, Iran, dan Amerika Serikat juga menjadi faktor krusial yang memengaruhi stabilitas kawasan.
Pemberontak terkemuka, termasuk kelompok Hayat Tahrir al-Sham, menghadapi sorotan dunia atas peran mereka dalam masa depan Suriah. Pemimpinnya, Abu Mohammed al-Golani, menyatakan komitmennya untuk tidak melakukan aksi balas dendam terhadap kelompok minoritas dan berjanji menciptakan pemerintahan inklusif. Meskipun demikian, kekhawatiran tentang potensi pelanggaran hak asasi manusia dan kekuatan militan lain tetap menjadi isu utama.
Kondisi politik dan ekonomi Suriah yang hancur akibat perang menjadi tantangan berat dalam membangun kembali negara ini. Infrastruktur yang rusak, jutaan pengungsi, dan kebutuhan akan rekonsiliasi nasional menjadi prioritas utama. Dukungan internasional dalam bentuk bantuan kemanusiaan dan upaya diplomasi sangat diperlukan untuk mendorong stabilitas dan mencegah fragmentasi lebih lanjut.
Dunia internasional menyambut perkembangan ini dengan beragam respons. Negara-negara seperti Qatar, Turki, dan Mesir menyerukan dialog inklusif, sementara kekuatan besar seperti Rusia dan Amerika Serikat menunjukkan pendekatan hati-hati terkait perubahan lanskap politik di Suriah.
Bagi rakyat Suriah, momentum ini memberikan harapan baru, meski tantangan besar masih membayangi. Upaya untuk menciptakan perdamaian yang langgeng dan membangun kembali Suriah yang stabil kini bergantung pada sinergi antara aktor domestik dan dukungan global.