Irak pernah dipimpin oleh sosok yang dikenal kejam dan otoriter. Di bawah kepemimpinannya, banyak rakyatnya yang harus meregang nyawa karena menentangnya. Sosok itu adalah Saddam Hussein, Presiden ke-5 Irak yang akhirnya mengalami nasib tragis dengan dieksekusi melalui hukuman gantung oleh rakyatnya sendiri.
Masa Kecil yang Penuh Kesulitan
Saddam Hussein lahir pada 28 April 1937 di Al Awja, sebuah desa kecil di dekat Tikrit, Irak. Ia berasal dari keluarga sederhana dan mengalami masa kecil yang penuh kesulitan. Ibunya, Subha Tulfah al-Mussallat, harus berjuang menghadapi tekanan mental akibat kehilangan anak pertamanya yang meninggal karena kanker. Kesedihannya begitu mendalam hingga ia hampir menggugurkan kandungan Saddam dan mencoba bunuh diri.
Meski akhirnya Saddam lahir ke dunia, ibunya yang masih dalam kondisi depresi berat tidak mampu merawatnya. Akibatnya, Saddam kecil diasuh oleh pamannya, Khairallah Talfah, hingga berusia tiga tahun. Setelah ibunya menikah lagi, Saddam kembali ke rumah, tetapi mengalami kehidupan yang keras di tangan ayah tirinya, Ibrahim Al Hassan. Perlakuan kasar dan kekerasan fisik yang ia alami membuatnya melarikan diri kembali ke rumah sang paman di Baghdad.
Pamannya, Khairallah Talfah, memiliki pengaruh besar dalam membentuk pola pikir dan ideologi Saddam. Khairallah dikenal sebagai seorang nasionalis Arab yang menanamkan kebencian terhadap Barat serta kelompok Syiah dan Kurdi di Irak. Didikan inilah yang kelak menjadi dasar dari kebijakan-kebijakan Saddam yang penuh dengan kekerasan dan represi.
Awal Karier Politik dan Perebutan Kekuasaan
Pada usia 20 tahun, Saddam mulai terjun ke dunia politik dengan bergabung ke dalam Partai Ba’ath. Partai ini berideologi nasionalisme Arab dan menjadi kendaraan politiknya untuk mencapai puncak kekuasaan.
Pada tahun 1959, ketika berusia 22 tahun, Saddam terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap Presiden Irak saat itu, Abdul Karim Qasim. Namun, rencana tersebut gagal, dan Saddam terpaksa melarikan diri ke Suriah dan Mesir sebelum akhirnya kembali ke Irak beberapa tahun kemudian.
Pada 1963, Partai Ba’ath berhasil merebut kekuasaan melalui kudeta militer, sehingga Saddam kembali ke Baghdad. Namun, kekuasaan partai tersebut hanya bertahan selama sembilan bulan sebelum digulingkan. Saddam pun ditangkap dan dipenjara.
Tahun 1966 menjadi titik balik dalam hidupnya. Ia dipercaya oleh Ahmed Hassan Al Bakr, seorang tokoh senior Partai Ba’ath, untuk menjadi wakil sekretaris komando regional partai. Posisi ini membuatnya semakin dekat dengan pusat kekuasaan.
Pada 1968, Saddam memainkan peran penting dalam merencanakan kudeta tak berdarah yang menggulingkan Presiden Abdul Rahman Arif. Kudeta tersebut sukses, dan Al Bakr diangkat sebagai presiden dengan Saddam sebagai wakilnya. Dari sinilah kekuasaan Saddam mulai semakin kokoh.
Pada tahun 1979, Al Bakr yang dalam kondisi sakit dipaksa mengundurkan diri oleh Saddam. Ia pun resmi menjadi Presiden Irak dan memerintah dengan tangan besi.
Perang, Kekejaman, dan Kediktatoran Saddam
Tak lama setelah mengambil alih kekuasaan, Saddam melancarkan perang besar melawan Iran pada 22 September 1980. Konflik ini berlangsung selama delapan tahun dan menewaskan lebih dari satu juta orang dari kedua belah pihak. Dalam peperangan ini, Saddam tanpa ragu menggunakan senjata kimia yang dikecam keras oleh dunia internasional.
Di dalam negerinya sendiri, Saddam semakin kejam terhadap pihak-pihak yang dianggap sebagai musuhnya. Salah satu tragedi paling mengerikan terjadi dalam Operasi Anfal yang dilancarkan terhadap suku Kurdi di Irak Utara. Operasi ini menyebabkan sekitar 100.000 hingga 180.000 orang Kurdi dibantai. Kota Halabja menjadi saksi bisu kebrutalan Saddam ketika ia memerintahkan serangan senjata kimia yang menewaskan lebih dari 5.000 orang dalam hitungan jam—mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Kekejaman Saddam tidak berhenti di situ. Pada 2 Agustus 1990, ia menginvasi Kuwait dengan tujuan menguasai sumber daya minyaknya. Namun, langkah ini justru menjadi bumerang. Dewan Keamanan PBB segera menjatuhkan sanksi dan memberi ultimatum agar Irak segera mundur. Saddam menolak, sehingga pada 17 Januari 1991, pasukan yang dipimpin Amerika Serikat melancarkan serangan udara dalam Perang Teluk. Irak akhirnya dipukul mundur dari Kuwait pada 28 Februari 1991.
Meskipun dunia internasional mengecam kebijakan dan tindakan Saddam, ia tetap mempertahankan kekuasaannya. Bahkan, dalam referendum yang digelar pada 15 Oktober 1995 dan 5 Oktober 2002, ia diklaim mendapatkan kemenangan mutlak dengan 99 hingga 100 persen suara, tanpa adanya lawan politik yang mencalonkan diri.
Kejatuhan dan Penangkapan Saddam Hussein
Puncak kehancuran Saddam terjadi pada 20 Maret 2003, ketika Amerika Serikat dan sekutunya melancarkan invasi besar-besaran ke Irak dengan alasan bahwa negara tersebut memiliki senjata pemusnah massal. Dalam waktu kurang dari sebulan, pemerintahan Saddam runtuh, dan pada 9 April 2003, Baghdad jatuh ke tangan pasukan AS.
Meski rezimnya tumbang, Saddam berhasil melarikan diri dan bersembunyi. AS memasukkannya dalam daftar orang yang paling dicari. Setelah berbulan-bulan pencarian, akhirnya pada 13 Desember 2003, dalam Operasi Red Dawn, Saddam ditemukan di sebuah lubang persembunyian di dekat rumahnya di Ad Dawr, Tikrit. Ia langsung ditangkap dan dibawa ke pangkalan militer AS.
Pada 30 Juni 2004, Saddam resmi diserahkan ke pemerintah sementara Irak untuk diadili atas berbagai kejahatan yang telah dilakukannya.
Pengadilan dan Eksekusi Saddam Hussein
Pengadilan terhadap Saddam berlangsung selama beberapa tahun. Ia didakwa atas berbagai kejahatan, termasuk pembantaian terhadap warga Dujail pada tahun 1982. Setelah serangkaian persidangan, pada 5 November 2006, Saddam dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati.
Hukuman gantung terhadap Saddam Hussein akhirnya dieksekusi pada 30 Desember 2006, bertepatan dengan hari pertama Idul Adha. Eksekusi berlangsung di Camp Justice, sebuah pangkalan militer di Kadhimiya, Baghdad.
Detik-detik kematiannya terekam dalam video yang kemudian beredar luas. Dalam rekaman tersebut, Saddam terlihat tetap tegar meskipun diolok-olok oleh algojonya. Dengan wajah tanpa ekspresi ketakutan, ia menghembuskan napas terakhir di tiang gantungan.
Akhir dari Diktator Irak
Kematian Saddam Hussein menandai berakhirnya era kediktatoran di Irak. Namun, warisan kekejaman dan kebijakan represifnya masih membekas di ingatan banyak orang. Rezimnya meninggalkan kehancuran bagi Irak, baik dari segi politik, sosial, maupun ekonomi.
Meski bagi sebagian pengikutnya Saddam dianggap sebagai pemimpin kuat, dunia mengenangnya sebagai salah satu diktator paling brutal dalam sejarah modern. Akhir hidupnya menjadi cerminan dari kepemimpinannya yang penuh darah—seorang pemimpin yang naik dengan kekerasan, dan jatuh dengan cara yang sama tragisnya.