Hukuman Harvey Moeis Ditetapkan 20 Tahun, Kuasa Hukumnya Klaim Rule of Law Telah Mati

Vonis banding terhadap Harvey Moeis yang diajukan ke Pengadilan Tinggi Jakarta telah diterima, dengan hukuman yang diperberat menjadi 20 tahun penjara.

Kuasa hukum Harvey, Junaedi Saibih, menyatakan ketidakpuasannya atas keputusan tersebut. Menurut Junaedi, hukuman yang dijatuhkan kepada kliennya tidak sebanding dengan vonis terhadap pihak lain, seperti Helena Lim.

“Helena Lim hanya diperberat dari 5 tahun menjadi 10 tahun, dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 900 juta.

Namun, barang-barang yang disita dalam kasusnya justru melampaui nilai tersebut, yang jelas melanggar prinsip hukum,” ujar Junaedi dalam pernyataannya, Jumat (14/2/2025).

Junaedi menilai keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta mencerminkan kemunduran prinsip rule of law, yang seharusnya menjadikan hukum sebagai landasan negara, bukan sekadar keputusan politis.

“Prinsip rule of law telah ‘wafat’ pada Kamis, 13 Februari 2025, usai munculnya bocoran putusan banding oleh JPU terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” katanya.

Ia juga mengkritik pengaruh populisme dalam pertimbangan hukum yang dinilainya mengesampingkan prinsip hukum.

Junaedi berharap hukum dapat ditegakkan kembali dan tidak tunduk pada tekanan publik yang berlebihan. “Akrobat hukum yang menggunakan aturan secara keliru adalah bentuk pembangkangan terhadap legalitas,” tambahnya.
Junaedi mempertanyakan dasar keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang memperberat hukuman Harvey Moeis, mengingat tidak adanya bukti suap, gratifikasi, atau kerugian aktual negara. Ia juga mempertanyakan klaim kerugian negara sebesar Rp 300 triliun akibat kerusakan lingkungan, yang menurutnya belum terbukti secara faktual di pengadilan.

“Sama sekali tidak ada bukti suap, gratifikasi, atau kerugian BUMN yang diakui sebagai kerugian negara,” ujarnya.
Selain itu, Junaedi mengungkapkan keheranannya atas denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan yang dijatuhkan kepada Mochtar Riza Pahlevi, mantan Dirut PT Timah.

Menurutnya, pidana tambahan atau denda seharusnya didasarkan pada perhitungan faktual, termasuk keuntungan yang diperoleh selama kerja sama smelter berlangsung. Berdasarkan laporan tahunan PT Timah, kerja sama tersebut justru mencatat keuntungan sebesar Rp 233 miliar.
“Lalu dari mana asal hitungan kerugian negara?” tanya Junaedi.

Sebagai informasi, Junaedi juga bertindak sebagai kuasa hukum Mochtar Riza Pahlevi, yang hukumannya turut diperberat dalam putusan banding dari 8 tahun menjadi 20 tahun penjara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *