Sejak pecahnya konflik pada 7 Oktober 2024, perang di Gaza telah menyebabkan kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya. Diperkirakan sekitar 51 juta ton puing menutupi wilayah yang sebelumnya menjadi pusat kehidupan dan aktivitas masyarakat. Menurut laporan terbaru PBB yang dirilis pada 4 Maret 2025 melalui situs UN.org, lebih dari 60 persen rumah di Gaza—sekitar 292.000 unit—dan 65 persen jaringan jalan telah hancur di wilayah yang hanya memiliki luas sekitar 360 kilometer persegi.
Sebagai upaya pemulihan, badan pembangunan dan lingkungan PBB, bekerja sama dengan otoritas Palestina serta berbagai organisasi nonpemerintah, tengah merancang strategi untuk membersihkan puing-puing dengan aman agar masyarakat dapat kembali membangun rumah dan infrastruktur mereka. PBB juga memanfaatkan pengalaman rekonstruksi di kota-kota yang pernah luluh lantak akibat perang, seperti Mosul di Irak serta Aleppo dan Latakia di Suriah. Diperkirakan bahwa dana sebesar $53 miliar atau sekitar Rp864 triliun diperlukan untuk mendukung proses pemulihan dan rekonstruksi di Gaza, sebagaimana dinyatakan dalam laporan Bank Dunia yang berkolaborasi dengan PBB.
Rencana Rekonstruksi Arab: Deklarasi Kairo
Pada 4 Maret 2025, negara-negara Arab mengadakan konferensi tingkat tinggi (KTT) darurat dan menyepakati rencana rekonstruksi Jalur Gaza yang diusulkan oleh Mesir. Dalam pernyataan akhir yang dikenal sebagai Deklarasi Kairo, para pemimpin Arab menegaskan bahwa rekonstruksi akan dilakukan secara komprehensif dengan koordinasi penuh bersama Negara Palestina serta didasarkan pada studi dari Bank Dunia dan Dana Pembangunan PBB. Selain itu, negara-negara Arab menolak keras pemindahan warga Palestina dari tanah air mereka dengan alasan apa pun dan mengutuk kebijakan Israel yang menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza, yang dinilai sebagai pelanggaran hukum internasional dan hukum humaniter internasional.
Sebagai bagian dari rencana rekonstruksi, Mesir mengusulkan pendekatan bertahap dengan pendanaan sebesar $53 miliar yang akan didistribusikan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama selama enam bulan, dana sebesar $3 miliar dialokasikan untuk pembersihan puing-puing di Jalan Salah al-Din, pembangunan hunian sementara, serta pemulihan rumah-rumah yang mengalami kerusakan ringan. Tahap kedua, yang berlangsung selama dua tahun dengan biaya $20 miliar, akan melanjutkan pembersihan puing-puing, membangun jaringan utilitas, dan menambah unit hunian. Sementara itu, tahap ketiga selama dua setengah tahun diperkirakan menelan biaya $30 miliar, mencakup pembangunan pemukiman permanen bagi seluruh penduduk Gaza, pengembangan zona industri, serta pembangunan pelabuhan dan bandara.
Dana rekonstruksi ini direncanakan akan bersumber dari PBB, organisasi keuangan internasional, serta investasi sektor swasta dan asing. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menekankan pentingnya bantuan kemanusiaan yang harus diberikan tanpa hambatan serta perlunya pendanaan yang cukup untuk mendukung pekerjaan badan kemanusiaan seperti UNRWA. Ia juga menegaskan bahwa upaya rekonstruksi harus didukung oleh solusi politik yang lebih luas, yakni penyelesaian konflik melalui pendekatan solusi dua negara, di mana Israel dan Palestina dapat hidup berdampingan secara damai dengan Yerusalem sebagai ibu kota kedua negara.
Rencana Rekonstruksi Versi AS: Proyek ‘Riviera’
Berbeda dengan negara-negara Arab, pemerintahan Donald Trump menolak rencana rekonstruksi Gaza yang didukung oleh para pemimpin Arab. Presiden Trump tetap bersikeras pada visinya sendiri, yang mencakup pengusiran 2,3 juta penduduk Gaza dan mengubah wilayah tersebut menjadi semacam “riviera” yang dikendalikan oleh AS.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, Brian Hughes, dalam pernyataannya kepada CNN pada 4 Maret 2025, menyebut bahwa Gaza saat ini tidak dapat dihuni dan penduduknya tidak mungkin hidup dengan layak di tengah reruntuhan serta sisa-sisa persenjataan yang belum meledak. Ia menambahkan bahwa Trump mendukung rekonstruksi Gaza dengan syarat wilayah tersebut harus bebas dari Hamas. “Kami menantikan pembicaraan lebih lanjut untuk membawa perdamaian dan kesejahteraan ke kawasan ini,” imbuhnya.
Namun, rencana AS ini bertentangan dengan inisiatif yang diajukan Mesir. Rencana Mesir mengusulkan agar Hamas menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sementara hingga Otoritas Palestina yang telah direformasi dapat mengambil kendali penuh atas Gaza. Hal ini memungkinkan sekitar dua juta warga Palestina untuk tetap tinggal di wilayah tersebut, bertolak belakang dengan skema Trump yang berorientasi pada relokasi penduduk.
Pada konferensi di Kairo, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas juga berjanji akan menyelenggarakan pemilihan umum di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur jika situasinya memungkinkan, menjadikannya sebagai langkah awal menuju transisi politik di Palestina pascakonflik.
Di sisi lain, Presiden Trump mengeluarkan peringatan keras kepada Hamas untuk segera membebaskan sandera yang mereka tahan di Gaza. Melalui akun Truth Social miliknya, ia menulis bahwa ia akan memberikan Israel “semua yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas” jika Hamas tidak memenuhi permintaannya.
Tantangan dan Prospek Rekonstruksi Gaza
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa jika permusuhan berlanjut, jutaan orang akan kembali mengalami penderitaan, dan stabilitas kawasan akan semakin terganggu. Ia menegaskan bahwa semua pihak harus berkomitmen pada gencatan senjata dan mempercepat negosiasi guna mencegah konflik lebih lanjut.
Para ahli juga mengingatkan bahwa meskipun rencana rekonstruksi telah disusun, pelaksanaannya penuh dengan tantangan. Kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani beberapa waktu lalu membagi rekonstruksi Gaza ke dalam tiga tahap, dengan pembangunan kembali sebagai tahap akhir setelah perang benar-benar berakhir. Namun, menurut Dima Toukan, seorang peneliti di Middle East Institute, fase akhir ini masih belum pasti dan dapat memakan waktu puluhan tahun atau bahkan tidak terjadi sama sekali jika kondisi politik tidak mendukung.
Dengan berbagai perbedaan pendekatan antara negara-negara Arab dan AS, masa depan rekonstruksi Gaza masih menjadi perdebatan. Apakah Gaza akan dibangun kembali dengan model inklusif yang mempertahankan warganya, atau akan mengikuti visi AS yang lebih kontroversial? Satu hal yang pasti, rekonstruksi Gaza bukan sekadar persoalan infrastruktur, tetapi juga menyangkut masa depan rakyat Palestina dan stabilitas di Timur Tengah.